StruktuKpengurusan 207-208

10.25 0 Comments A+ a-

Direktur:                                                                    Dr. N. K. Endah Triwijati, M.A
Pembina:                                                                    Siti Mazdafiah, S.S., M.W.S.
Ketua:                                                                        Nanda Kurniasari
Bendahara:                                                                Risma Putri Pradani
Sekretaris:                                                                  Alicia 
Kadiv. Perlengkapan:                                               Joshua Wibisono
Kadiv. Humas:                                                          Florentia Levina P.
Kadiv. Fund Raising:                                               Yohana Nadeta Desia Chrisma 
Kadiv. Pendidikan Masyarakat & Advokasi:        Hajrah Rizkiyani Masbul
Kadiv. Penelitian:                                                      Karina Angelica





Being a Counselor who Listens & Attends is not Enough

22.27 0 Comments A+ a-


Oleh : Chrissamary Husodo



Saya mendapatkan banyak insight melalui tiga sesi yang mengajarkan dasar-dasar dari Konseling Feminis. Bila saya menceritakan dengan rinci apa saja yang telah saya dapatkan secara keseluruhan, saya rasa beberapa lembar saja tidak cukup. Jadi, saya akan memaparkan beberapa poin besar yang saya tangkap sebagai highlight (re: pelajaran berharga bagi saya) dari dasar-dasar Konseling Feminis.

Sebelum mendalami Konseling Feminis, salah satu pembicara menjelaskan mengenai teknik-teknik Konseling Dasar secara umum terlebih dahulu. Informasi mengenai hal ini kurang lebih sama dengan pelajaran yang saya peroleh dari perkuliahan saya di Fakultas Psikologi, yaitu konseling berdasarkan paradigma humanistik. Lebih tepatnya adalah client-centered approach yang dicetuskan oleh Carl Rogers. Pendekatan client-centered ini berfokus pada klien, yaitu pentingnya konselor untuk memberikan: 1) empathy yang menunjukkan bahwa konselor dapat memahami sudut pandang klien secara komprehensif, namun tidak sampai ‘terlarut-larut’ ke dalam emosi klien, 2) unconditional positive regard dimana konselor menerima klien apa adanya melalui penghargaan tanpa syarat; tidak memberikan judgement apapun terhadap sikap dan perilaku klien, dan 3) congruence yaitu konselor harus bersikap tulus dan jujur agar dapat menumbuhkan rasa saling percaya dengan klien. Selain itu, keterampilan dasar konseling seperti mindful listening yang mencakup attending dan listening, serta pentingnya untuk melakukan paraphrasing dan membaca bahasa tubuh klien juga dijelaskan.

Ternyata, Konseling Feminis pada dasarnya berbeda dengan client-centered approach maupun konseling lainnya yang telah saya pelajari dari perkuliahan. Di perkuliahan saya mendapatkan teknik-teknik konseling berdasarkan paradigma humanistik, psikoanalisis, kognitif, dan behavioristik yang seluruhnya memiliki dasar etika dalam konseling yang tidak jauh berbeda. Dalam konseling pada umumnya, seorang konselor tidak boleh mengarahkan klien dengan pandangannya. Dengan kata lain, seorang konselor harus menjadi objektif guna memahami sudut pandang klien secara penuh tanpa adanya bias. Hal ini berbeda dengan Konseling Feminis yang memperbolehkan konselor untuk menggunakan kerangka pandangnya di dalam sesi konseling.  Kerangka pandang tersebut merupakan values yang dipegang oleh konselor feminis, yaitu nilai-nilai yang menjunjung equality atau kesetaraan. Equality tidak hanya untuk perempuan yang mengalami penindasan dan dampak sosial secara tidak adil akibat gender, namun juga untuk semua kelompok minoritas yang tertindas (akibat etnis, orientasi seksual, dll).

Dalam Konseling Feminis, terdapat dua prinsip besar yaitu Empowerment dan De-mystification. Empowerment tidak bersifat 1 arah, tetapi merupakan hubungan yang saling bertimbal balik.  Empowerment bukan berarti konselor yang memberdayakan konselee, bukan konselor yang menemukan solusi bagi konselee, karena konselor tidak sedang memberdayakan siapapun ketika ia berusaha untuk menjadi “penyelamat” bagi konselee. Empowerment berkaitan dengan nilai-nilai equality, yaitu konselor dan konselee benar-benar berada dalam posisi yang setara. Empowerment berarti konselor menemani konselee dengan berjalan seiring bersamanya, menerima dirinya, memahami sumber daya manusia konselee, mendukung situasinya dan mendampingi konselee hingga sadar.

                Kemudian De-mystification adalah peran konselor untuk memecahkan nilai-nilai dari masyarakat yang bersifat mitos, yang sebenarnya tidak benar namun telah mengendap di benak konselee. Konselee perlu diberdayakan dari pola pemikirannya (nilai-nilai yang ditanam oleh masyarakat) yang membelenggu dirinya. Nilai-nilai yang sebenarnya merupakan mitos, yang mengecilkan kemanusiaan perempuan atau kelompok minoritas lainnya, dengan kata lain nilai-nilai yang diciptakan oleh masyarakat dan menjadi norma yang berlaku tanpa adanya penjelasan yang kuat seperti berikut:

  1. Keperawanan – Kepercayaan masyarakat bahwa harga diri seorang perempuan yang hanya ditentukan oleh keutuhan selaput darahnya. Seolah-olah kepribadian, kepandaian, integritas, atau kualitas baik lainnya yang dimiliki seorang perempuan tidak berarti jika ia sudah tidak perawan lain. Lalu, apakah hal yang sama berlaku bagi laki-laki yang tidak perjaka? Mengapa? Hal ini berkaitan dengan double standard yang beredar di masyarakat, yaitu standar berbeda yang dikenakan pada laki-laki dan perempuan. Di mana kebanyakkan standar yang ada lebih menguntungkan laki-laki namun merugikan permepuan.
  2. Peran Gender - Masyarakat percaya bahwa laki-laki adalah kepala keluarga dan pencari nafkah, sedangkan perempuan menjaga anak dan bekerja di ranah domestik saja. Perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam mengembangkan karirnya, hal ini menghambat perempuan untuk mencapai potensi maksimumnya. Jika perempuan diperbolehkan untuk bekerja pun, mayoritas perempuan yang bekerja tetap dibebani dengan tanggung jawab untuk merawat anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Namun, hal ini tidak berlaku bagi laki-laki yang bekerja. Di sini, perempuan mengalami double burden akibat dari peran perempuan di tiga ranah: domestik, publik, sosial.
  3. Kecantikan - Masyarakat menekankan perempuan untuk harus menjaga penampilannya, memoles dirinya dengan berbagai perawatan untuk mempercantik dirinya, menjaga bentuk tubuhnya sesuai dengan idealis masyarakat, agar menjadi perempuan ‘idaman’ dan memeroleh pasangan yang baik. Seolah-olah selain keperawanan, harga diri maupun kualitas seorang perempuan hanya bisa ditentukan oleh penampilan fisiknya. Seolah-olah perempuan bagaikan objek seni yang dipajang di museum, hanya untuk dipandang keindahannya.
  4. Kekerasan seksual - Kepercayaan masyarakat bahwa dalam aktivitas seksual, laki-laki lah yang aktif dan memiliki hak untuk dipuaskan hasrat nafsunya. Sedangkan wanita bersifat pasif dan memiliki kewajiban sebagai objek seksual untuk memuaskan laki-laki. Sedangkan pada nyatanya, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki yaitu untuk memuaskan hawa nafsunya jika dia ingin dan menolak untuk melakukan aktivitas seksual jika dia tidak ingin.  Namun, adanya kepercayaan masyarakat yang ada justru mendukung laki-laki dalam melakukan kekerasan seksual dengan memaksa perempuan untuk berhubungan seksual, seolah-olah laki-laki “berhak” untuk mendominasi perempuan dalam segala aspek kehidupan.

Beberapa mitos di atas yang dijunjung sebagai values di budaya patriarki ini perlu di counter value (nilai-nilai yang perlu dipertanyakan ulang kembali). Mitos-mitos tersebut perlu dihancurkan dari benak perempuan untuk membangkitkan kembali rasa mampunya dan harga dirinya sebagai seorang manusia.

                Jadi, Konseling Feminis menekankan bahwa tidak ada yang salah secara ontologis pada diri konselee, melainkan nilai-nilai masyarakat (konteks) yang sering menyesatkan dan membelenggu konselee. Akan tetapi, seringkali konselee tidak menyadari bahwa keterbatasannya (blindspot) disebabkan oleh mitos-mitos yang beredar di masyarakat. Maka itu, sebenarnya empowerment dan de-mystification perlu dilakukan oleh konselor terhadap diri konselee dalam sesi konseling manapun, yang mana berkaitan dengan mitos dari masyarakat. Seperti apa yang telah dikatakan oleh salah satu pembicara, “If you want to make a change, being a counselor who listens & attends is not enough.”

Refleksi Pelatihan Konseling Feminis Dasar

21.40 0 Comments A+ a-


Oleh : Albertus Christian
                Embel-embel “feminis” di belakang kata konseling membuat saya tertarik untuk mengikuti acara ini. Apa yang membedakan konseling feminis dari konseling pada umumnya? Pada hari pertama, kami belajar mengenai dasar-dasar dari feminisme yang memang berawal dari tertindasnya perempuan secara struktural oleh laki-laki yang memang mendominasi di atas laki-laki. Dalam melakukan konseling, saya juga mendapatkan perspektif baru mengenai sebuah asumsi dalam melakukan advokasi konseling, yaitu bahwa seorang perempuan dibiasakan untuk menyimpan cerita, entah itu aib keluarga, aib suami atau mengenai dirinya, sehingga ketika ada seorang perempuan yang dating ke kita, maka kita dapat berasumsi bahwa dirinya sedang sangat membutuhkan bantuan.
                Dalam melakukan konseling feminis, disampaikan oleh fasilitator bahwa kekerasan yang terjadi dalam kasus-kasus yang ada saat ini biasanya tidak bersifat kontinuitas atau terus-menerus, melainkan juga dalam bentuk siklus yang secara keseluruhan terdiri dari “dikerasin” dan “disayang” sehingga pada umumnya korban akan merasa sulit untuk melepaskan pelaku. Di akhir sesi, kami juga melakukan sharing mengenai kasus-kasus yang pernah kami dengarkan atau diceritakan ke kami dan berhubungan dengan konseling ini.
              Setelah itu, di minggu kedua kami mendapatkan pembekalan mengenai Teknik-teknik konseling, bagaimana etika dalam melakukan konseling dan yang paling penting adalah: ketika kita masih baru mulai kita perlu melakukan konseling sesuai peraturan, namun setelah jam terbang tinggi, baru kita bisa ber-improvisasi. Contohnya saja saat ada klien yang jatuh cinta dengan kita sebagai konselor, kita tidak harus selalu buru-buru me-refernya ke konselor lain. Justru hal ini bisa menjadi sumber daya bagi kita dalam melakukan konseling.
               Di minggu terakhir, kami melakukan Teknik-teknik konseling yang telah kami pelajari serta melengkapi konsep feminisme dari Bu Tiwi yang kami dapat di minggu pertama. “belief yang merendahkan kemanusiaan, itulah belief yang harus kita hilangkan dalam melakukan konseling feminis”. Sejauh ini, saya senang karena ini sangat menambah persepktif gender dan feminisme saya. 

Cinderella Complex: Dia yang Berharap Pangeran Datang

06.56 0 Comments A+ a-

Penulis: Annisa Zaenab Nur Fitria


“Aku maunya nikah aja ah, gak mau musingin kuliah kayak gini. Terus musingin kerja gitu?”

“Hmm, udahlah tenang aja, nanti juga bakal datang lelaki yang bakal melamar kamu. Kamu gak usah musingin dirimu sendiri gitu.”

Apa kamu termasuk salah satu yang pernah menyatakan hal seperti di atas? Atau teman-teman perempuan di sekitarmu sering mengemukakannya? Sekilas terdengar layaknya candaan biasa. Namun, siapa sangka itu bisa menjadi salah satu indikasi adanya Cinderella Complex dalam diri kalian?

Istilah Cinderella Complex muncul dalam tulisan College Dowling, dengan buku miliknya yang berjudul “Women’s Hidden Fear of Independence” yang terbit pada Juni 1982. Dalam bukunya, ia menjelaskan bahwa Cinderella Complex sebagai suatu keadaan perempuan yang ditekan rasa ketakutan, lalu berdampak pada menurunnya kemampuan dalam berpikir serta kreativitas mereka. Perempuan yang memiliki Cinderella Complex, mengibaratkan mereka adalah putri pada suatu dongeng yang nantinya akan dilamar oleh lelaki tampan dan mapan. Namun, Cinderella Complex ini menyebabkan perempuan merasa takut dan tidak percaya diri dengan kemampuan sendiri. Perempuan dibentuk menjadi sosok yang tidak mandiri dan bergantung pada lelaki yang dianggap sebagai pangerannya. Selain itu, ia menjadi sosok tidak ingin dipusingkan untuk mengurus kehidupannya sendiri.

Perempuan diciptakan oleh masyarakat untuk menjadi sosok yang nantinya berperan sebagai pendorong lelaki dalam hidupnya (kanca wingking/teman di belakang) jika menikah. Sebagai contoh, bekerja di dapur, membersihkan rumah, serta berdiam diri di rumah. Peran-peran ini seolah memiliki nilai yang lebih baik daripada peran-peran yang mungkin dikerjakan oleh perempuan di luar rumah, seperti misalnya aktif menjadi tokoh/pemimpin di dunia politik kemasyarakatan, bekerja di kantor, menjadi direktur, dokter atau pilot. Pengaruh budaya patriarki turut menjadi alasan yang mendorong hal ini. Kasarannya, nasib perempuan itu bergantung pada laki-laki yang akan menjadi pendampingnya nanti. Ia menjadi seks kedua setelah laki-laki dan menganggap laki-laki sebagai superiornya.

Perempuan dibesarkan untuk menginginkan seorang laki-laki dalam. Laki-laki tersebut akan menjadi pasangan yang dipercaya bisa melengkapi kekurangan dan menguatkan dari rasa lemah yang dipelajarinya sebagai perempuan dari lingkungan sosialnya. Perempuan dibesarkan untuk bisa memiliki sosok yang melindungi, memperhatikan, dan memberi rasa aman serta nyaman pada dirinya. Akan tetapi, keinginan dan harapan tersebut dapat berisiko karena sering kali di dunia nyata laki-laki tidak sesuai dengan impian yang ditanamkan padanya. Pangeran baik hati yang datang untuk menyelamatkan hidupnya tidak pernah ia temukan.

Menurut penulis, seorang perempuan bisa dan boleh menjadi istri, ibu, dan berbagai macam profesi lainnya di luar rumah. Ketidakberdayaan yang selama ini tertanam pada perempuan dapat membuat perempuan memiliki ketergantungan yang besar pada laki-laki dan membuat diri mereka mempercayai bahwa diri mereka tidak mampu berbuat sesuatu untuk dirinya sendiri.  Perempuan perlu untuk menjadi mandiri karena usia dan situasi ke depan tidak ada yang tahu, kita sebagai manusia pastilah memiliki keinginan hidup bersama selalu dengan suami. Namun, tuntutan situasi bisa datang kapan saja, mendadak. Maka dari itu, kita harus menyiapkan diri kita untuk menghadapi segala kemungkinan yang ada.

Nah, tapi bagaimana jika sudah terlanjut indikasi cinderella complex ada di diri kita? Tenang, tidak ada kata terlambat untuk berubah. Hal pertama dan paling penting adalah mengenali sejauh mana ketakutan menguasai hidup kita sebagai perempuan. Tulis sebuah jurnal pengamatan diri, catat segala mimpi dan khayalan serta realitas yang sedang dihadapi. Bergabung dengan komunitas yang memberdayakan perempuan, atau rajin-rajinlah berkumpul dengan teman dekat untuk saling sharing dan jujur membuka diri. Setelah kita dapat mengenali ketakutan kita, dari situlah kita bisa dengan perlahan menantang diri sendiri, perlahan namun pasti, mendidik ulang diri kita sendiri untuk menyadari potensi dalam diri.



Dowling, C. (1982). The Cinderella Complex: Women's Hidden Fear of Independence.

Zain, T. S. (2016). CINDERELLA COMPLEX DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI. Jurnal Indigenous, 92-98.

Pelecehan Seksual di Sekitar Kita

21.40 0 Comments A+ a-


Penulis : Lidia Daisyanti

Saat saya sedang bekerja kelompok bersama teman saya, kami terbahak-bahak dengan pernyataan salah seorang teman laki-laki kami kepada teman laki-laki yang lain, “We, kamu itu cowok tapi kadang kamu kayak cewek”. We hanya tersenyum kecil seakan meng-iya-kan pernyataan tersebut.  Tetapi, sebenarnya ia merasakan sakit hati dari pernyataan temannya tersebut. Perkataan teman kepada W tersebut bisa digolongkan sebagai bentuk pelecehan seksual. 
Berbeda lagi dengan seorang laki-laki yang terkenal feminin tetapi bertindak tidak sopan kepada teman perempuannya (seperti meremas payudara saat di kelas, menyebar foto dengan komentar seksual). Teman yang menjadi korban dan saksi yang melihat perbuatan tersebut hanya tertawa menganggap hal tersebut hanyalah canda belaka. Toh, pelaku tidak tertarik pada perempuan (orientasi seksual pada sesama jenis), jadi hanya dibiarkan saja.
Kedua contoh di atas merupakan pelecehan seksual di sekitar kita yang jarang disorot. Defisini dari pelecehan seksual sendiri adalah segala tindakan yang dianggap tidak sopan yang bermuatan seksual dan membuat seseorang merasa tersinggung, memalukan sehingga mempengaruhi kondisi dan lingkungan seseorang. Pelecehan seksual dapat dialami oleh  laki-laki maupun perempuan. 
Berdasarkan kategorinya, pelecehan seksual dibagi menjadi 5 jenis, yaitu:
1.      Pelecehan gender: Pernyataan dan perilaku seksis yang menghina jenis kelamin tertentu
2.      Perilaku menggoda: Perilaku seksual yang menyinggung, tidak pantas, dan tidak diinginkan.
3.      Penyuapan seksual: Permintaan aktivitas seksual dengan janji sebuah imbalan.
4.      Pemaksaan seksual: Pemaksaan aktivitas seksual dengan ancaman hukuman.
5.   Pelanggaran seksual: Pelanggaran seksual berat (seperti menyentuh, merasakan, atau meraih secara paksa) atau penyerangan seksual.   
Berdasarkan data catatan tahunan 2017 Komisi Nasional Perempuan tercatat bahwa terdapat 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2016. Bagaimana dengan pembaca? Apakah pernah menjadi korban kekerasan seksual? Apabila salah satu dari pembaca pernah menjadi korban namun merasa malu untuk melaporkannya ke polisi, pembaca dapat melaporkan lewat media sosial twitter @arekfeminis.
Apabila pembaca pernah menjadi korban pelecehan seksual, lakukanlah semua langkah yang diperlukan untuk memulihkan kondisi kembali, karena sering kali pelecehan seksual, tidak dianggap sebagai kejahatan bagi sang korban (tidak termasuk korban atas dasar suka sama suka). Padahal, dampak  dari pelecehan seksual yang terjadi bisa mengakibatkan  depresi, kegelisahan, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD). Teori Psikososial menyatakan bahwa pelecehan seksual mengganggu komponen kognitif seseorang, menyebar pada evaluasi diri dan keyakinan negatif, termasuk perasaan inferior dan efikasi diri rendah.
Apakah pembaca  pernah menjadi saksi yang tidak berbuat apa-apa untuk menolong korban pelecehan seksual? Penelitian mengenai Bystander Effect yang dilakukan oleh Latané and Darney pada tahun 1960 menjelaskan bahwa penyebab seseorang yang menjadi saksi dari pelecehan seksual memilih untuk tidak menolong korban adalah adanya rasa khawatir untuk  bertindak secara tidak tepat. Selain itu, adanya kecenderungan untuk menganggap pelecehan seksual sebagai situasi yang tidak gawat. Oleh karena itu, kita perlu berubah menjadi active bystander.  Tidak ada ruginya kok, karena kita dapat menolong orang lain.
Terdapat lima langkah yang bisa kita lakukan sebagai active bystander:
1.    Direct, artinya saksi secara langsung mengonfrontasi pelaku dan menyatakan bahwa yang dilakukannya adalah salah. 
2.     Distract yakni cara menginterupsi korban maupun pelaku dalam upaya memisahkan keduanya kemudian berupaya memastikan bahwa korban dalam kondisi aman. 
3.     Delegate dilakukan dengan cara melaporkan pada pihak yang memiliki otoritas tinggi seperti petugas atau penegak hukum.
4.     Delay adalah memastikan kondisi korban pelecehan dan menawarkan bantuan.
5.    Document, alias mendokumentasikan kejadian terutama jika sudah ada pihak yang menolong korban.
            Setelah membaca artikel ini, diharapkan pembaca semakin paham apa yang sebaiknya dilakukan saat menjadi korban atau saksi pelecehan seksual. Jangan malah jadi pelaku pelecehan seksual ya. Semoga bermanfaat :)

REFERENSI

Aslam, Farzana. “Harvey Weinstein and the bystander effect: How sexual predators persist in a conspiracy of silence”. 24 Februari 2018. https://www.hongkongfp.com/2017/10/29/harvey-weinstein-bystander-effect-sexual-predators-persist-conspiracy-silence/
Rudystina, Adinda. “Mengenali Berbagai Jenis Pelecehan Seksual: Bukan Hanya Pemerkosaan” 24 Februari 2018. https://hellosehat.com/hidup-sehat/seks-asmara/berbagai-jenis-pelecehan-seksual/
Wargadiredja , Arzia Tivany. “Indonesia Butuh Lebih Banyak Saksi Pelecehan Seksual Yang Berani Bersikap”. 24 Februari 2018. https://www.vice.com/id_id/article/xw4zn3/indonesia-butuh-lebih-banyak-saksi-pelecehan-seksual-yang-berani-bersikap.


Eksistensi Bromance

00.38 0 Comments A+ a-

Penulis : Frengky Setiawan

“Bromance” merupakan istilah yang jarang diketahui oleh masyarakat. Seringkali masyarakat gagal paham akan apa yang dimaksud dengan bromance itu sendiri. Bromance sesungguhnya adalah hubungan antara dua laki-laki yang memiliki kedekatan, ikatan emosional, serta ikatan cinta yang bersifat persaudaraan. Dengan kata lain, bromance dapat diartikan sebagai hubungan antara dua orang laki-laki yang cukup dalam. Bagi kebudayaan Indonesia, bromance tentu merupakan hal yang tabu karena laki-laki di Indonesia memiliki cara yang berbeda dalam mengekspresikan perasaannya terhadap teman sesama jenisnya. Dalam stigma masyarakat bromance memiliki kesamaan dengan gay. Tetapi sesungguhnya kedua istilah tersebut sangat berbeda. Stigma tersebut dapat muncul dikarenakan adanya homophobia dalam masyarakat pada masa kini, secara khusus di Indonesia dimana homosexual saat ini menjadi isu yang sedang hangat diperbincangkan. Namun, kedua istilah tersebut perlu dibedakan.
Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Adam White, Stefan Robinson, dan Eric Anderson yang melibatkan 30 orang mahasiswa sarjana di salah satu universitas di Inggris ditemukan beberapa karakteristik dari bromance. Karakteristik yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a.       Minat yang sama
Minat yang sama merupakan sesuatu yang dibutuhkan dalam mengembangkan hubungan bromance. Salah seorang partisipan dalam penelitan yang dilibatkan oleh Adam White mengakui bahwa “bromance akan bekerja dengan baik ketika yang berhubungan memiliki kesamaan minat dan kepribadian”.
b.      Ikatan emosional
Yang dimaksud dengan ikatan emosional dalam hal ini adalah termasuk saling menceritakan rahasia dan sikap saling percaya terhadap sesama. Ikatan emosional juga dapat ditunjukkan dalam bentuk ungkapan yang mengekspresikan rasa suka dan cinta terhadap sesamnya. Tentu rasa suka dan cinta yang dimaksud dalam hal ini memiliki arti yang berbeda. Menurut pendapat partisipan lain dari penelitian yang dilakukan, bahwa tidak ada ketertarikan seksual dalam jenis cinta yang dimaksud dalam bromance. Dengkan kata lain, rasa suka dan cinta tersebut bukanlah mengarah pada homosexual desire.

c.       Kontak fisik
Ketika adanya ikatan emosional, terdapat kecenderungan antara laki-laki yang terlibat dalam bromance melakukan kontak fisik. “Kamu dapat berbaring ditempat tidur bersama temanmu, berpelukan dan mengobrol”, kata seorang partisipan. Seorang partisipan lainnya mengatakan; “saya berpelukan dengannya, menciumnya, dan mengatakan kepadanya bahwa saya mencintainya”.
Dalam artikelnya yang berjudul “The Bromance: Undergraduate Male Friendship and the Expansion of Contemporary Homosocial Bounderies”, Adam White bersama tim penelitiannya menarik kesimpulan dari hasil penelitian tersebut terkait manfaat dari bromance, yaitu sebagai berikut:
1.      bahwa bromance dapat membangun  suatu hubungan yang lebih intim, emosional, dan sikap saling percaya dalam persahabatan yang dekat antara laki-laki;
2.      bahwa bromance merupakan sebuah penawaran yang logis dan ruang yang penting bagi mahasiswa laki-laki dalam meningkatkan pendekatan penguasaan akan emosi dan manajemen kehidupan pribadinya.
Bromance? Mengapa tidak?

REFERENSI
Stefan Robinson, Eric Anderson, Adam White, The Bromance: Undergraduate Male Friendship and the Expansion of Contemporary Homosocial Bounderies, 2017.

Ditulis oleh : Frengky Setiawan

Prayers for Bobby : A Short Film You Must Know It

05.58 0 Comments A+ a-

Penulis : Daniel Wiranata

Kehidupan kita ibarat pelangi yang memiliki warna yang berbeda-beda. Lingkungan di mana kita berada menunjukkan keanekaragaman dari suku, ras, budaya, agama, organisasi, cara pandang, dan masih banyak lainnya. Kata orang, perbedaan itu indah, tapi mungkin tidak berlaku untuk permasalahan LGBT.
LGBT merupakan suatu fakta dan fenomena sosial, di mana keberadaan mereka memang ada dan tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Fenomena ini menuai banyak pro dan kontra yang tak kunjung terselesaikan.  Tahun 2017 permasalahan LGBT ini ramai diperbincangkan dari pemboikotan gerai Starbucks, gempa bumi yang disangkut pautkan dengan maraknya LGBT, hingga putusan MK terkait UU perzinaan. Secara global, pada 26 September 2014, Komisi HAM PBB memutuskan untuk mendukung dan mengakui sepenuhnya HAM kaum LGBT sebagai bagian dari “HAM yang Universal”. Tetapi, di Indonesia sendiri dukungan terhadap kaum LGBT masih dibilang rendah.
            Fenomena LGBT sendiri bukanlah hal yang baru. Banyak film dan buku bertema LGBT semakin marak di era kini. Prayers for Bobby merupakan salah satu dari film bertema LGBT yang diangkat dari kisah nyata, kehidupan Bobby Griffith tahun 1983. Memiliki perbedaan antara orientasi seksual dan pandangan agama (evangelikal) yang selama ini diajarkan oleh orang tuanya membuat kebingungan tersendiri bagi Bobby. Berbagai usaha dilakukan oleh Mary (Ibu Bobby) untuk menyembuhkan Bobby, namun tidak ada satupun yang dapat mengubah orientasi Bobby. Sempat menjalin hubungan dengan seorang pria di Portland bernama David, membuat Bobby senang hingga pada akhirnya ia tau bahwa David mengkhianatinya. Tekanan dan depresi yang dirasakan Bobby membuatnya menyerah dengan keadaan, hingga akhirnya Bobby memutuskan untuk bunuh diri dengan cara terjun bebas dari jembatan di suatu jalan raya.

            Singkat cerita film Prayers for Bobby memiliki banyak moral yang menyentuh hati setiap penontonnya. Film ini tidak hanya memberikan kesan yang sedih saja, tetapi juga dapat memberikan pandangan baru mengenai LGBT yang selama ini kita tau. Overall, kisah kehidupan Bobby dapat memberikan edukasi kepada orangtua yang memiliki anak LGBT agar lebih memahami apa yang dirasakan oleh anaknya.