Cinderella Complex: Dia yang Berharap Pangeran Datang

06.56 0 Comments A+ a-

Penulis: Annisa Zaenab Nur Fitria


“Aku maunya nikah aja ah, gak mau musingin kuliah kayak gini. Terus musingin kerja gitu?”

“Hmm, udahlah tenang aja, nanti juga bakal datang lelaki yang bakal melamar kamu. Kamu gak usah musingin dirimu sendiri gitu.”

Apa kamu termasuk salah satu yang pernah menyatakan hal seperti di atas? Atau teman-teman perempuan di sekitarmu sering mengemukakannya? Sekilas terdengar layaknya candaan biasa. Namun, siapa sangka itu bisa menjadi salah satu indikasi adanya Cinderella Complex dalam diri kalian?

Istilah Cinderella Complex muncul dalam tulisan College Dowling, dengan buku miliknya yang berjudul “Women’s Hidden Fear of Independence” yang terbit pada Juni 1982. Dalam bukunya, ia menjelaskan bahwa Cinderella Complex sebagai suatu keadaan perempuan yang ditekan rasa ketakutan, lalu berdampak pada menurunnya kemampuan dalam berpikir serta kreativitas mereka. Perempuan yang memiliki Cinderella Complex, mengibaratkan mereka adalah putri pada suatu dongeng yang nantinya akan dilamar oleh lelaki tampan dan mapan. Namun, Cinderella Complex ini menyebabkan perempuan merasa takut dan tidak percaya diri dengan kemampuan sendiri. Perempuan dibentuk menjadi sosok yang tidak mandiri dan bergantung pada lelaki yang dianggap sebagai pangerannya. Selain itu, ia menjadi sosok tidak ingin dipusingkan untuk mengurus kehidupannya sendiri.

Perempuan diciptakan oleh masyarakat untuk menjadi sosok yang nantinya berperan sebagai pendorong lelaki dalam hidupnya (kanca wingking/teman di belakang) jika menikah. Sebagai contoh, bekerja di dapur, membersihkan rumah, serta berdiam diri di rumah. Peran-peran ini seolah memiliki nilai yang lebih baik daripada peran-peran yang mungkin dikerjakan oleh perempuan di luar rumah, seperti misalnya aktif menjadi tokoh/pemimpin di dunia politik kemasyarakatan, bekerja di kantor, menjadi direktur, dokter atau pilot. Pengaruh budaya patriarki turut menjadi alasan yang mendorong hal ini. Kasarannya, nasib perempuan itu bergantung pada laki-laki yang akan menjadi pendampingnya nanti. Ia menjadi seks kedua setelah laki-laki dan menganggap laki-laki sebagai superiornya.

Perempuan dibesarkan untuk menginginkan seorang laki-laki dalam. Laki-laki tersebut akan menjadi pasangan yang dipercaya bisa melengkapi kekurangan dan menguatkan dari rasa lemah yang dipelajarinya sebagai perempuan dari lingkungan sosialnya. Perempuan dibesarkan untuk bisa memiliki sosok yang melindungi, memperhatikan, dan memberi rasa aman serta nyaman pada dirinya. Akan tetapi, keinginan dan harapan tersebut dapat berisiko karena sering kali di dunia nyata laki-laki tidak sesuai dengan impian yang ditanamkan padanya. Pangeran baik hati yang datang untuk menyelamatkan hidupnya tidak pernah ia temukan.

Menurut penulis, seorang perempuan bisa dan boleh menjadi istri, ibu, dan berbagai macam profesi lainnya di luar rumah. Ketidakberdayaan yang selama ini tertanam pada perempuan dapat membuat perempuan memiliki ketergantungan yang besar pada laki-laki dan membuat diri mereka mempercayai bahwa diri mereka tidak mampu berbuat sesuatu untuk dirinya sendiri.  Perempuan perlu untuk menjadi mandiri karena usia dan situasi ke depan tidak ada yang tahu, kita sebagai manusia pastilah memiliki keinginan hidup bersama selalu dengan suami. Namun, tuntutan situasi bisa datang kapan saja, mendadak. Maka dari itu, kita harus menyiapkan diri kita untuk menghadapi segala kemungkinan yang ada.

Nah, tapi bagaimana jika sudah terlanjut indikasi cinderella complex ada di diri kita? Tenang, tidak ada kata terlambat untuk berubah. Hal pertama dan paling penting adalah mengenali sejauh mana ketakutan menguasai hidup kita sebagai perempuan. Tulis sebuah jurnal pengamatan diri, catat segala mimpi dan khayalan serta realitas yang sedang dihadapi. Bergabung dengan komunitas yang memberdayakan perempuan, atau rajin-rajinlah berkumpul dengan teman dekat untuk saling sharing dan jujur membuka diri. Setelah kita dapat mengenali ketakutan kita, dari situlah kita bisa dengan perlahan menantang diri sendiri, perlahan namun pasti, mendidik ulang diri kita sendiri untuk menyadari potensi dalam diri.



Dowling, C. (1982). The Cinderella Complex: Women's Hidden Fear of Independence.

Zain, T. S. (2016). CINDERELLA COMPLEX DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI. Jurnal Indigenous, 92-98.