Being a Counselor who Listens & Attends is not Enough
Oleh : Chrissamary Husodo
Saya
mendapatkan banyak insight melalui
tiga sesi yang mengajarkan dasar-dasar dari Konseling Feminis. Bila saya menceritakan
dengan rinci apa saja yang telah saya dapatkan secara keseluruhan, saya rasa
beberapa lembar saja tidak cukup. Jadi, saya akan memaparkan beberapa poin
besar yang saya tangkap sebagai highlight
(re: pelajaran berharga bagi saya) dari dasar-dasar Konseling Feminis.
Sebelum
mendalami Konseling Feminis, salah satu pembicara menjelaskan mengenai
teknik-teknik Konseling Dasar secara umum terlebih dahulu. Informasi mengenai
hal ini kurang lebih sama dengan pelajaran yang saya peroleh dari perkuliahan
saya di Fakultas Psikologi, yaitu konseling berdasarkan paradigma humanistik.
Lebih tepatnya adalah client-centered
approach yang dicetuskan oleh Carl Rogers. Pendekatan client-centered ini berfokus pada klien, yaitu pentingnya konselor
untuk memberikan: 1) empathy yang
menunjukkan bahwa konselor dapat memahami sudut pandang klien secara
komprehensif, namun tidak sampai ‘terlarut-larut’ ke dalam emosi klien, 2) unconditional positive regard dimana
konselor menerima klien apa adanya melalui penghargaan tanpa syarat; tidak
memberikan judgement apapun terhadap
sikap dan perilaku klien, dan 3) congruence
yaitu konselor harus bersikap tulus dan jujur agar dapat menumbuhkan rasa
saling percaya dengan klien. Selain itu, keterampilan dasar konseling seperti mindful listening yang mencakup attending dan listening, serta pentingnya untuk melakukan paraphrasing dan membaca bahasa tubuh klien juga dijelaskan.
Ternyata,
Konseling Feminis pada dasarnya berbeda dengan client-centered approach maupun konseling lainnya yang telah saya
pelajari dari perkuliahan. Di perkuliahan saya mendapatkan teknik-teknik konseling
berdasarkan paradigma humanistik, psikoanalisis, kognitif, dan behavioristik
yang seluruhnya memiliki dasar etika dalam konseling yang tidak jauh berbeda. Dalam
konseling pada umumnya, seorang konselor tidak boleh mengarahkan klien dengan
pandangannya. Dengan kata lain, seorang konselor harus menjadi objektif guna
memahami sudut pandang klien secara penuh tanpa adanya bias. Hal ini berbeda dengan Konseling Feminis yang memperbolehkan
konselor untuk menggunakan kerangka pandangnya di dalam sesi konseling. Kerangka pandang tersebut merupakan values yang dipegang oleh konselor
feminis, yaitu nilai-nilai yang menjunjung equality
atau kesetaraan. Equality tidak hanya
untuk perempuan yang mengalami penindasan dan dampak sosial secara tidak adil akibat
gender, namun juga untuk semua kelompok minoritas yang tertindas (akibat etnis,
orientasi seksual, dll).
Dalam
Konseling Feminis, terdapat dua prinsip besar yaitu Empowerment dan De-mystification.
Empowerment tidak bersifat 1 arah,
tetapi merupakan hubungan yang saling bertimbal balik. Empowerment
bukan berarti konselor yang memberdayakan konselee, bukan konselor yang
menemukan solusi bagi konselee, karena konselor tidak sedang memberdayakan
siapapun ketika ia berusaha untuk menjadi “penyelamat” bagi konselee. Empowerment berkaitan dengan nilai-nilai
equality, yaitu konselor dan konselee
benar-benar berada dalam posisi yang setara. Empowerment berarti konselor menemani konselee dengan berjalan seiring
bersamanya, menerima dirinya, memahami sumber daya manusia konselee, mendukung
situasinya dan mendampingi konselee hingga sadar.
Kemudian De-mystification adalah peran konselor untuk memecahkan nilai-nilai
dari masyarakat yang bersifat mitos, yang sebenarnya tidak benar namun telah
mengendap di benak konselee. Konselee perlu diberdayakan dari pola pemikirannya
(nilai-nilai yang ditanam oleh masyarakat) yang membelenggu dirinya. Nilai-nilai
yang sebenarnya merupakan mitos, yang mengecilkan kemanusiaan perempuan atau
kelompok minoritas lainnya, dengan kata lain nilai-nilai yang diciptakan oleh
masyarakat dan menjadi norma yang berlaku tanpa adanya penjelasan yang kuat
seperti berikut:
- Keperawanan – Kepercayaan masyarakat bahwa harga diri seorang perempuan yang hanya ditentukan oleh keutuhan selaput darahnya. Seolah-olah kepribadian, kepandaian, integritas, atau kualitas baik lainnya yang dimiliki seorang perempuan tidak berarti jika ia sudah tidak perawan lain. Lalu, apakah hal yang sama berlaku bagi laki-laki yang tidak perjaka? Mengapa? Hal ini berkaitan dengan double standard yang beredar di masyarakat, yaitu standar berbeda yang dikenakan pada laki-laki dan perempuan. Di mana kebanyakkan standar yang ada lebih menguntungkan laki-laki namun merugikan permepuan.
- Peran Gender - Masyarakat percaya bahwa laki-laki adalah kepala keluarga dan pencari nafkah, sedangkan perempuan menjaga anak dan bekerja di ranah domestik saja. Perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam mengembangkan karirnya, hal ini menghambat perempuan untuk mencapai potensi maksimumnya. Jika perempuan diperbolehkan untuk bekerja pun, mayoritas perempuan yang bekerja tetap dibebani dengan tanggung jawab untuk merawat anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Namun, hal ini tidak berlaku bagi laki-laki yang bekerja. Di sini, perempuan mengalami double burden akibat dari peran perempuan di tiga ranah: domestik, publik, sosial.
- Kecantikan - Masyarakat menekankan perempuan untuk harus menjaga penampilannya, memoles dirinya dengan berbagai perawatan untuk mempercantik dirinya, menjaga bentuk tubuhnya sesuai dengan idealis masyarakat, agar menjadi perempuan ‘idaman’ dan memeroleh pasangan yang baik. Seolah-olah selain keperawanan, harga diri maupun kualitas seorang perempuan hanya bisa ditentukan oleh penampilan fisiknya. Seolah-olah perempuan bagaikan objek seni yang dipajang di museum, hanya untuk dipandang keindahannya.
- Kekerasan seksual - Kepercayaan masyarakat bahwa dalam aktivitas seksual, laki-laki lah yang aktif dan memiliki hak untuk dipuaskan hasrat nafsunya. Sedangkan wanita bersifat pasif dan memiliki kewajiban sebagai objek seksual untuk memuaskan laki-laki. Sedangkan pada nyatanya, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki yaitu untuk memuaskan hawa nafsunya jika dia ingin dan menolak untuk melakukan aktivitas seksual jika dia tidak ingin. Namun, adanya kepercayaan masyarakat yang ada justru mendukung laki-laki dalam melakukan kekerasan seksual dengan memaksa perempuan untuk berhubungan seksual, seolah-olah laki-laki “berhak” untuk mendominasi perempuan dalam segala aspek kehidupan.
Beberapa
mitos di atas yang dijunjung sebagai values
di budaya patriarki ini perlu di counter
value (nilai-nilai yang perlu dipertanyakan ulang kembali). Mitos-mitos
tersebut perlu dihancurkan dari benak perempuan untuk membangkitkan kembali rasa
mampunya dan harga dirinya sebagai seorang manusia.
Jadi, Konseling Feminis
menekankan bahwa tidak ada yang salah secara ontologis pada diri konselee,
melainkan nilai-nilai masyarakat (konteks) yang sering menyesatkan dan
membelenggu konselee. Akan tetapi, seringkali konselee tidak menyadari bahwa
keterbatasannya (blindspot) disebabkan
oleh mitos-mitos yang beredar di masyarakat. Maka itu, sebenarnya empowerment dan de-mystification perlu dilakukan oleh konselor terhadap diri
konselee dalam sesi konseling manapun, yang mana berkaitan dengan mitos dari
masyarakat. Seperti apa yang telah dikatakan oleh salah satu pembicara, “If you want to make a change, being a
counselor who listens & attends is not enough.”